(Samodra, 2001)
Sebuah pernyataan Kepala Suku Seattle Indian
(1854) yang ditujukan kepada “Pimpinan Besar Orang Kulit Putih” yang
berkedudukan di Washington ingin membeli tanahnya dan berjanji akan memberi “tanah
perlindungan”. Saya cuplik dari sebuah buku yang saya dapat saat saya mencari
referensi di Perpustakaan Museum Geologi mengenai kawasan kars, berjudul “Nilai
Strategis Kawasan Kars di Indonesia” karya Hanang Samodra (2001) dan ini
disadur dari naskah aslinya oleh R. K. T. Ko. Beliau merupakan seorang dokter
yang aktif dalam konservasi wilayah kars.
Disebutkan dalam buku tersebut, pernyataan ini
dianggap sebagai pernyaatan mengenai lingkungan hidup paling indah. Dan saya
setuju, dalam pernyataan Kepala Suku Seattle Indian terlihat bagaimana Ia
begitu mencintai tanah kelahirannya. Setiap mereka memiliki nyawa. Alam adalah
ibu baginya dan segala sesuatu di dalammnya adalah saudaranya. Mereka adalah keluarganya
yang harus dijaga selayaknya keluarga sendiri. Sehingga tak heran kalau membeli
tanah mereka merupakan gagasan yang aneh. Bagaiamana kau dapat menjual keluarga
sendiri? Dan jika akhirnya harus tetap dijual, Kepala Suku Seattle menyampaikan
perasaannya tentang tanahnya, agar “Orang Kulit Putih” dapat memiliki perasaan
yag sama. Segaimana melepaskan keluarganya dengan berat dan menitipkan pada
tangan yang baru dengan segala ketakutan dan kekhawatiran. Karena baginya, bumi
ini (terlalu) berharga. Dan inilah pernyataanya.
Bagaimana Tuan dapat membeli
atau menjual langit dan kehangatan tanah?
Gagasan itu aneh bagi kami.
Kami tidak memiliki udara yang
segar dan air yang bergemericik, bagaimana Tuan dapat membelinya?
SEMUANYA KERAMAT
Bagi bangsa saya setiap bagian
dari bumi ini adalah keramat. Dalam ingatan dan pengalaman bangsa saya, setiap
pucuk daun cemara yang berkilauan, setiap pantai berpasair, setiap kabut yang
menyelimuti hutan nan gelap, setiap jengkal tanah terbuka dan serangga yang
mengguman adalah sakral. Sari kehidupan yang mengalir di dalam pepohonan menyimpan
ingatan orang kulit merah.
Orang kulit putih yang mati,
ketika mereka berjalan di antara binatang, tidak ingat lagi di mana tanah
kelahirannya. Bagi kami, orang mati tidak pernah melupakan bumi yang indah,
karena bumi adalah ibunda orang kulit merah.
Kami adalah bagian dari bumi,
dan bumi adalah bagian dari kami. Bunga-bunga semerbak wangi adalah saudara
perempuan kami. Rusa, kuda, elang besar adalah saudara laki-laki kami. Tebing
berbatu, sari bunga yang ada di lembah. Kehangantan tubuh kuda dan manusia
semuanya adalah keluarga.
Tidak mudah
Jadi. Jika Pemimpin Besar di
Washington mengajukan keinginan hendak membeli tanah kami, niat itu kami anggap
sungguh penting. Pemimpin Besar memberi kabar kalau ia akan menyediakan tempat
bagi kami, sehingga kami dapat hidup dengan sejahtera. Ia akan menjadi ayah
kami, dan kami akan menjadi putra puterinya. Oleh sebab itu kami
mempertimbangan keinginan untuk membeli tanah kami. Tetapi hal itu tidak akan
mudah terlaksana, sebab bagi kami tanah ini keramat. Air berkilauan di sungai-sungai
bukanlah sekedar air, melainkan darah nenek moyang kami.
Kalau kami sampai menjual
tanah kepada Tuan, harus diingat kalau tanah itu keramat. Tuan harus mengajari
anak-anak Tuan kalau tanah itu suci, di mana setiap pantulan yang samar samar
di dalam air jernih danau menceritakan kejadian kejadian dan ingatan pada
kehidupan bangsa kami. Kecepak air adalah suara ayah dari ayah saya.
Kebaikan
Sungai-sungai adalah saudara
laki-laki kami. Mereka mengatasi dahaga kami. Sungai mengangkut kano-kano kami
dan memberi makan anak-anak kami. Jika kami menjual tanah kepada Tuan maka Tuan
harus ingat dan mengajari anak-anak Tuan kalau sungai adalah saudara laki-laki
kami, seperti layaknya Tuan memberi keramahan yang pantas kepada saudara
laki-laki kami.
Kami tahu bangsa kulit putih
tidak memahami tata kehidupan kami. Satu bagian tanah dianggap sama dengan
bagian lain, karena ia adalah orang asing yang tiba pada malam hari, kemudian
mengambil tanah yang ia butuhkan. Tanah bukanlah saudara laki-lakinnya, tapi
musuh. Jika ia telah mengusasi tanah tersebut maka iapun melanjutkan
perjalannya.
Ia meninggakan kuburan ayahnya
dengan tak acuh. Ia menjarah bumi milik anak-anak dengan tak acuh. Kuburan
ayahnya dan hak hidup anak-anaknya dilupakan. Ibunya, yaitu bumi, dan saudar
laki-lakinya, yaitu langit, diperlakukan sebagai barang dagangan yang dapat
dibeli., dirampok dan dijual seperti kambing atau manik-manik yang berwarna
cerah. Nafsunya akan menelan bumi dan hanya meninggalkan padang pasir.
Saya tidak tahu. Jalan kami berbeda dengan
jalan Tuan. Pemandanganya kota-kota Tuan menyakitkan mata orang kulit merah.
Mungkin karena orang kulit merah adalah orang biadab yang tidak mengerti.
Tidak ada satu tempatpun yang tenang di
kota-kota orang kulit putih. Tidak ada tempat untuk melihat mekarnya daun pada
musim semi atau gesekan sayap serangga. Mungkin saja karena saya orang biadab
dan bodoh. Kebisingan kota hanya mengusik telinga, dan apalah artinya kehidupan
jika orang tidak dapat mendengar teriakan kesepian burung whippoorwil atau celotehan katak disekeliling kolam pada malam
hari? Saya hanyalah seorang kulit merah yang idak tahu apa-apa.
Orang Indian lebih menyayangi suara lembut dan
aroma angin yang berdesir di atas permukaan kolam, yang dibersihkan oleh hujan
siang hari, yang diimbuhi wewangian dari pohon cemara.
Berharga
Udara sangat berharga bagi orang kulit merah,
karena semua berbagi nafas dengannya—binatang, pohon dan manusia. Orang kulit
putih tidak memperhatikan udara yang dihrup. Seperti orang yang sudah mati
beberapa hari, ia kebal dengan udara yang bau busuk.
Jika tanah ini kami jual kepada Tuan, Tuan
harus ingat kalau udara sangat penting bagi kami, kalau udara membagi esensinya
dengan semua yang ia tunjang kehidupannyna. Angin yang memberi nafas pertama
kepada kakek kami dan juga menerima nafas terakhir darinya. Jika kami menjual
tanah Tuan, Tuan harus memisahkan dan memuliakannya sebagai tempat di mana
orang kulit putihpun dapat menikmati angin, yang dipermanis oleh aroma
bebungaan padang rumput.
Satu syarat
Jadi kami akan mempertimbangkan permintaan Tuan
untuk membeli tanah kami. Kami setuju, saya, mau mengajukan satu syarat. Orang
kulit putih harus memperlakuakan binatang-binatang di atas tanah ini sebagai
saudara laki-laki. Saya orang biadab dan saya tidak mengerti cara lainnya.
Saya telah melihat ribuan kerbau yang membusuk
di padang rumput ditinggalkan begitu saja oleh orang kulit putih yang
menembakinya dari kereta apa yang sedang berjalan. Saya orang biadab dan tidak
mengerti betapa kuda besi berasap dianggap lebih penting daripada kerbau yang
kami bunuh demi hanya untuk menyambung kehidupan.
Apakah artinya manusia tanpa binatang? Jika
semua binatang punah, manusia akan mati karena kesepian yang luar biasa. Karena
apapun yang terjadi pada binatang akan terjadi pula secara cepat pada manusia.
Semua hal saling bertalian.
Abu
Tuan harus mengajari anak-anak Tusn kalau tanah
di bawah telapak kaki mereka adalah abu dari kakek-kakek Tuan. Agar mereka
menghargai tanah, ceritakanlah kepada mereka kalau bumi ini kaya dengan
kehidupan. Ajarkanlah kepada anak-anak Tuan seperti kami mengajarkan kepada
anak-anak kami, bahwa bumi adalah ibu kita. Apa yang terjadi pada bumi akan terjadi
pada anak-anak kami juga. Jika orang meludahi tanah, maka ia meludahi dirinya
sendiri.
Yang kami ketahui bumi tidak dimiliki orang.
Oranglah yang dimiiki bumi. Kami tahu, semua saling bertalian. Seperti darah
yang menyatukan keluarga. Apa yang terjadi dengan bumi akan terjadi pada
anak-anak kami. Manusia tidak merajut jaring-jaring kehidupan. Ia hanyalah
bagian kecil dari padanya. Apa yang perbuat terhadap jaring kehidupan adalah
tindakan yang dilakukan terhadap dirinya sendiri. Bahkan orang kulit putih,
yang Tuhannya berjalan dan berbicara dengannya seperti teman kepada teman,
tidak dapat dikecualikan dari nasib sama. Kita semua akhirnya bersaudara. Kita
akan melihatnya. Satu hal yang kita ketahui, yang pada suatu hari akan disadari
pula oleh orang kulit putih__Tuhan kita adalah Tuhan yang sama*.
Sekarang Tuan boleh berpendapat bahwa Tuan
memiliki Dia, sebagaimana Tuan ingin memiliki tanah kami. Tetapi tidak mungkin
Tuan memiliki Dia sendiri. Dia adalah Tuhan dari semua manusia, yang
perhatiannya sama besar baik kepada orang kulit merah maupun orang kulit putih.
Bumi ini amat berharga bagi Dia. Merusak bumi akan membangkitkan balas dendam
Sang Pencipta. Orang kulit putih juga akan lengap, mungkin lebih cepat dari suku-suku
lainnya. Kotorilah ranjang Tuan, maka pada suatu malam Tuan akan tercekik oleh
kotoran Tuan sendiri.
Pada saat Tuan mati, Tuan akan bersinar terang,
dibekali kekuatan Tuhan yang memebawa Tuan ke tanah ini, untuk tujuan istimewa
memberi Tuan kekuasaan atas ini dan atas orang kulit merah.
Takdir adalah suatu misteri bagi kami, karena
kami tidak tahu kapan semua kerbau habis disembelih, kuda liar dijinakkan,
sudut-sudut rahasia hutan dipenuhi bau orang bayak dan bukit-bukt dipenuhi
kabel-kabel berbicara.
Di manakah semak belukar? Hilang.
Di manakah elang? Lenyap.
Di sinilah kehidupan berakhir.
Dan, kehidupan barupun dimulai!
*Pemahaman saya, plutaritas itu sunatullah, tapi tidak dengan pluralisme
Comments
Post a Comment